Selasa, 24 September 2013


Metode Tahdzir dan Kitab-kitab Rudud (Bantahan) merupakan Penjagaan Terhadap Manhaj

Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah berkata,
“Dulu manusia membaca kitab-kitab (yang  berisi) pemikiran-pemikiran menyimpang banyak sekali. Perpustakaan-perpustakaan dipenuhi dengan kitab-kitab sesat dan kitab-kitab bid’ah. Tidak ada seorang pun yang menjelaskan dengan metode tersebut.
Namun tatkala umat sudah mulai perhatian terhadap bimbingan al-Kitab dan as-Sunnah serta manhaj as-Salafus Shalih, mereka mendapati ada kitab-kitab yang mentahdzir umat dari bahaya bid’ah dan kesesatan. Maka para pembela dan pengusung kebatilan segera mengatakan, “Janganlah kalian sibuk dengan hal-hal seperti itu!  Janganlah kalian menyibukkan diri dengan hal-hal seperti itu! (Jangan menyibukkan membaca kitab-kitab bantahan terhadap bid’ah dan kesesatan, pen) Janganlah kalian meninggalkan ilmu!”

Ketahuilah, (kitab-kitab) bantahan (rudud) [1] tersebut termasuk ilmu. Dengannya bisa diketahui mana yang hidayah mana yang kesesatan. Diketahui mana yang baik mana yang jelek. Demi Allah, (kitab-kitab bantahan tersebut) termasuk ilmu yang menjaga. Sebagaimana Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Dulu manusia bertanya kepada Rasulullah tentang kebaikan. Namun aku bertanya kepada beliau tentang kejelekan, karena khawatir kejelekan itu menemuiku.” Jadi seseorang harus mengenal kitab-kitab ahlul bid’ah dan kesesatan, yakni bagaimana metode kitab-kitab bid’ah yang engkau kritik tersebut.  Jika tidak, maka tidaklah tersesat banyak dari kaum muda kecuali ketika mereka kehilangan kitab-kitab yang melindungi mereka (dari bid’ah dan kesesatan). Sungguh kitab-kitab bantahan (rudud) itu padanya terdapat perlindungan terhadap syabab (kaum muda).
Aku mempermisalkan orang yang melakukan tarbiyah (pendidikan), namun tidak melakukan penjagaan (terhadap anak didiknya) dan tidak meletakkan perlindungan terhadap kaum muda, adalah seperti orang menanam kemudian di datangi oleh hewan-hewan, serangga, srigala, dll dan memakan habis tanaman tersebut. Jadi kalau tidak ada pagar, tidak ada perlindungan – yaitu tahdzir dari bahaya bid’ah – maka manusia akan binasa.
Oleh karena itu para salaf berhasil dengan kesuksesan yang sangat besar tatkala mereka menggunakan metode tahdzir terhadap ahlul bid’ah. Mereka berhasil sukses dalam menjaga (melindungi) sunnah dan jama’ah. Namun ketika pagar ini dihancurkan, dan semakin menipis perhatian terhadap penjagaan masyarakat sunny dari serangan ahlul bid’ah, maka ahlul bid’ah pun melancarkan serangannya dan berhasil menguasai mereka (masyarakat sunny). Sehingga tersebarlah pengkeramatan terhadap kuburan-kuburan, khurafat, … dll. Dulu di sini di negeri ini, terdapat penjagaan yang baik dari bahaya ahlul bid’ah. Kemudian mereka (ahlul bid’ah) mengenakan pakaian sunnah, sehingga berhasil menipu kami. Tatkala mereka melihat bahwa perlindungan tersebut sudah tiada lagi, maka merekapun mengambil para pemuda kita.
Kitab-kitab bantahan (rudud) tersebut, barangsiapa yang menginginkan kebaikan, maka sungguh – demi Allah – dia akan membacanya. Maka dengan itu dia akan mendapati di dalamnya pembeda antara yang haq dengan yang batil. Dan ketika itu dia akan mendapati perjagaan dan perlindungan dari penyakit-penyakit (bid’ah) tersebut. Sebagaimana kita memberikan kekebalan dan imunisasi pada bayi-bayi kita dari penyakit, sebagai wujud perhatian yang sangat besar (terhadap bayi-bayi kita). Demikian pula wajib atas kita memberikan perhatikan terhadap akal anak-anak kita. kita melindunginya dan menyampaikan tahdzir (peringatan) kepadanya, serta memberikan pemahaman kepadanya. Sehingga akalnya mampu memilah mana yang baik dan mana yang buruk.
(Majmu’ Kutub wa Rasa’il wa Fatawa asy-Syaikh Rabi’ XIV/282-283)
[1]  Yaitu kitab-kitab yang berisi bantahan terhadap kebatilan dan ahlul batil
http://dammajhabibah.net/2013/09/19/metode-tahdzir-dan-kitab-kitab-rudud-bantahan-merupakan-penjagaan-terhadap-manhaj/

 

Arti Salaf menurut bahasa dan Istilah

Arti Salaf Menurut Bahasa
Salafa Yaslufu Salfan artinya madla (telah berlalu). Dari arti tersebut kita dapati kalimat Al Qoum As Sallaaf yaitu orang – orang yang terdahulu. Salafur Rajuli artinya bapak moyangnya. Bentuk jamaknya Aslaaf dan Sullaaf.
Dari sini pula kalimat As Sulfah artinya makanan yang didahulukan oleh seorang sebelum ghadza’ (makan siang). As salaf juga, yang mendahuimu dari kalangan bapak moyangmu serta kerabatmu yang usia dan kedudukannya di atas kamu. Bentuk tunggalnya adalah Saalif. Firman allah Ta’ala
فَجَعَلْنَاهُمْ سَلَفًا وَمَثَلًا لِّلْآخِرِينَ
“dan kami jadikan mereka sebagai pelajaran dan contoh bagi orang-orang yang kemudian” (Az Zukhruf :56)
Artinya, kami jadikan mereka sebagai orang – orang yang terdahulu agar orang – orang yang datang belakangan mengambil pelajaran dengan (keadaan) mereka. Sedangkan arti Ummamus Saalifah adalah ummat yang telah berlalu. Berdasarkan hal ini, maka kata salaf menunjukan kepada sesuatu yang mendahului kamu, sedangkan kamu juga berada di atas jalan yang di dahuluinya dalam keadaan jejaknya.
Pengertian Salaf Menurut Istilah
Allah telah menyediakan bagi ummat ini satu rujukan utama di mana mereka kembali dan menjadikan pedoman. Firman allah Ta’la :
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ
“sesungguhnya telah ada pada (diri) Rassullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) allah dan (kedatangan) hari kiamat”. (Al Ahzab: 21)
Allah juga menerangkan bahwa ummat ini mempunyai generasi pendahulu yang telah lebih dahulu sampai kepada hidayah dan bimbingan. Allah berfirman :
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ
“orang – orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar mengikuti mereka dengan baik allah ridha kepada mereka dan mereka ridha kepada allah “ (At Taubah 100)
Allah juga menegaskan bahwa ketiadaan sikap ittiba’ (meneladanii) para As Sabiqun (pendahulu) yang mendapat bimbingan adalah bentuk penentangan dan perpecahan. Fiman allah Subhanahuwata’ala :
وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Dan barang siapa yang menentan Rosul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang – orang mu’min. kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukan ia kedalam jahannam dan jahannaman itu seburuk – buruknya tempat kembali” (An Nisa’ 115)
Sehingga mereka yang memperhatikan ayat – ayat ini, akan melihat dengan mata hatinya dan petunjuk yang ada padanya bahwa ummat ini memang memiliki genarsi pendahulu (salaf) yang terdepan dalam kebaikan dan hidayah. Adapun para tabi’ (yang mengikuti) tidak berhak mendapat keselamatan dan kebaikan kecuali dengan berjalan di atas jalan orang – orang yang  telah mendahuluinya dan mengamalkan apa yang telah di amalkan oleh generasi terdahulu.
Syaikhul Islam Ibnu Tamiyah menjelaskan pengertian ini, dengan mengatakan :
“sehingga tidak ada keberuntungan kecuali dengan ittiba’ Rosulullah. Kerena sesungguhnya Allah telah mengkhususkan keberuntungan itu hanya para pengikut beliau  yang beriman da anshar (pemebela).”  Allah Ta’ala berfirman ;
فَالَّذِينَ آمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا النُّورَ الَّذِي أُنزِلَ مَعَهُ ۙ أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Maka orang – orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya, dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka itulah orang-prang yang beruntung “(Al Araf 157)
Artinya tidak ada yang beruntung kecuali mereka.
Allah Subhanahuwata’ala telah pula menerangkan bahwa keberuntungan itu hanya milik orang – orang yang mengikuti cahaya yang diturunkan-Nya kepada nabi-Nya. Syaikhul Islam Ibnu Tamiyah menjelaskan pengertian ini dengan tuntas, bahwasannya keselamatan dan keberuntungan itu hanya dengan ittiba’ terhadap para generasi terdahulu yang pertama – tama masuk Islam, kata beliau :
“Bahwasannya Shiratul mustaqim (jalan yang lurus) itu adalah jalan orang – orang yang telah Allah beri nikmat kepada mereka, dari kalangan para nabi, Shiddiqin ( yang banyak membenarkan), Syuhada (yang gugur berjihad di jalan allah) dan orang – orang yang shaleh (yang menunaikan hak allah dan sesama).”
Beliau menggambarkan secara jelas pengertian kata salafy  dan apa yang di maukan dengan kata ini menurut istilah. Di mana yang dimaksud dengan kalimat ini adalah para sahabat dan orang yang mengikuti mereka dengan baik. Sehingga orang – orang yang menjadikan para sahabat sebagai pendahulunya dalam ittiba’ dan pemahaman maka dia adalah seorang salafy ( yang berakidah dan pemahaman salafy)
Berkaitan dengan hal ini Syaikh Islam Ibnu Taimiyah menerangkan :
“adapun salaf seperti para sahabat dan orang – orang yang mengikuti mereka dengan baik,  tidak dikenal dari mereka adanya pertentangan dalam prinsip pokok dalam agama ini. Bahkan atsar (berita) tentang masalah ini, kita dapatkan secara mutawatir dari mereka.”
Maka kalimat salat disebutkan secara mutlak kepada sahabat nabi dan orang – orang yang mengikuti mereka dengan baik, semoga allah meridhai mereka semua. Dan orang – orang yang mengikuti mereka di atas agama yang haq ini, maka dia adalah penerus kebaikan para generasi salafy tersebut.
(di kutip dari buku Manhaj Dakwah Salafiyah, Pustaka Al Haura)

Senin, 26 November 2012

Pelajaran Surat Al Fiil ( Gajah )

بسم الله الرحمن الرحيم أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَابِ الْفِيلِ أَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِي تَضْلِيلٍ وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا أَبَابِيلَ تَرْمِيهِم بِحِجَارَةٍ مِّن سِجِّيلٍ فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَّأْكُولٍ
 Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang .1. Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah ? 2. Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka ( untuk menghancurkan Ka’bah) itu sia – sia? 3. Dan dia mengirimkan kepada mereka buRung yang berbondong – bondong. 4. Yang melempari mereka dengan batu ( berasal) dari tanah yang terbakar, 5. Lalu dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan(ulat). Dinamakan surat Al Fiil (Gajah) kerena dimulai dengan mengingatkan kisah para penunggah gajah. AlLah menyebutkan di surat Al Humazah tentang keadaan para pengumpat dan pencela yang mengumpulkan harta dan merasa mulia dengan hartanya, lalu Allah memberitaukan bahwa harta sama sekali tidak bermanfaat menghadapi siksaan Allah. Dalam surat ini Allah mengisahkan ashabul-fiil ( pasukan menunggang gajah) yang lebih kuat dari mereka, lebih banyak harta, dan lebih melampaui batas. Allah Ta’ala membinasakan mereka hanya dengan burung yang paling kecil dan paling lemah. Sementara harta, jumlah, dan kekuatan mereka tidak bermanfaat sama sekali untuk membantu mereka. Arti kosa kata أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ “ tidak lah kamu lihat, bagaimana Rabbmu memperbuat” Tidaklah kamu tahu? Penyampaian ini di tujukan pada Rasul, walaupun Beliau tidak menyasikkan itu, tetapi menyasikkan bekas-bekasnya, hingga seolah olah Beliau melihatnya. أَصْحَابِ الْفِيلِ “ para penunggang gajah” Mahmud adalah gajah terbesar, besarnya tiga belas gajah yang lainya. Penuggangnya adalah Abrahah. أَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُ “ bukankah Dia menjadikan tupi daya mereka “ Untuk menghancurkan Ka’bah. فِي تَضْلِيلٍ “ sia-sia “ Dalam kerugian dan kebinasaan. طَيْرًا “ burung” Semua yang terbang di udara, baik besar maupun kecil. أَبَابِيلَ “ bergerombol – gerombol” سِجِّيلٍ “ tanah yang terbakar” كَعَصْفٍ مَّأْكُولٍ Seperti daun tanaman yang dimakan dan di injak-injak ulat. Makna secara global Surat ini mengandung pembicaraan tentang kejadian yang terjadi dekat sebelum kelahiran Nabi Muhammad Sholollohu’alaihiwassalam. Ringkasnya Abrahah Al Asyram gubernur Yaman di bawah kerajaan Habasyah pernah berpendapat untuk mendirikan sebuah rumah ibadah (gereja) di Shan’a Yaman. Dia menyeru bangsa Arab untuk berhaji kepadanya sebagai pengganti haji ke Baitil Haram. Tatkala dia telah membangun gereja yang dinamakan Quallais, sebagai bangunan yang belum pernah di kenal semisalnya dalam sejarah pembangun gereja, maka datang seorang laki-laki Quraisy yang membuang air besar lalu melumuri diding dengan kotoran itu disebabkan kejengkelannya. Ketika Abrahah melihat bangunan kebanggaanya dengan keadaan seperti itu, maka muncullah api murkanya lalu mempersiapkan pasukan untuk memerangi Mekkah dan mengahancurkan Ka’bah. Berangkatlah bersamanya tiga belas gajah, diantaranya gajah yang bernama Mahmud ( Gajah Terbesar). Mereka berjalan terus melawati sebuah lingkungan masyarakat Arab kemudian mereka perangi dan berhasil mengalahkannya sampai tiba di Mekkah. Terjadilah perundingan antara mereka dengan Tokoh Mekkah yaitu ‘Abdul Muththalib ( kakek Rasulullah ). Perundingan pun berakhir dengan hasil : Abrahah akan mengembalikan unta Abdul Muththalib kemudian Abrahah bisa berbuat apa saja terhadap Ka’bah. Abdul Muththalib pun memerintahkan para lelaki penduduk Mekkah untuk mengosongkan negeri ini menuju ke puncak-puncak gunung membawa istri dan anak-anak mereka karena takut terhadap pasukan yang zalim yaitu Abrahah. Segera pasukan Abrahah bergerak, hingga tiba di lembah Muhassar ( lembah terhina) maka tiba-tiba sekumpulan demi sekumpulan burung datang melempari pasukan itu dengan batu seukuran antara himsh dengan adas ( seperti kacang hijau). Mereka pun meleleh dan berjatuhan dagingnya lalu binasa. Abrahah lari dengan dagingnya yang berjatuhan, namun akhirya mati dalam perjalanan. Kejadian adalah nikmat dari Allah bagi penduduk Al Haram dan penjaga rumah-nya. Oleh karena itu, bangsa Arab senantiasa memuliakan Ka’bah Al Haram dan penduduknya hingga sekarang. Faedah yang dapat di ambil dari ayat ini. Hiburan bagi Rasulullah terhadap apa – apa yang beliau temui dari kezhaliman kuffar Quraisy. Mengingatkan kaum Quraisy akan tindakan Allah Ta’ala terhadap Abrahah beserta kaumnya, menakutkan dan mengancam mereka. Memperlihatkan kekuasaan Allah Subhanawata’ala dalam memelihara hamba – hambaNya juga meperlihatkan serangan Allah Ta’ala terhadap musuh-musuhNya Perlindungan Allah terhadap baitnya dari musuh-musuh AgamaNya. Kejadian “ gajah” menjadi sejarah yang dinamakan dengan tahun gajah ( tahun 570 M) yang juga merupakan tahun lahirnya Nabi Muhammad Sholollohu’alaihiwassalam. (diambil dari buku Ad Durusil Muhimmah Li Ammatil Ummah, Cahaya Tauhid Pres)

Allah Maha Baik Dan Tidak Menerima Kecuali Yang Baik

Ditulis Oleh Ustadz Abu Utsman Kharisman (Syarh Hadits ke-10 Arbain anNawawiyyah)
 عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ
 اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ { يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ } وَقَالَ { يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ } ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ Dari Abu Hurairah –semoga Allah meridlainya- beliau berkata: Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah adalah baik dan tidaklah menerima kecuali yang baik. Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kaum mukminin sebagaimana perintah kepada para Rasul : يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ Wahai sekalian para Rasul, makanlah yang baik-baik dan beramal sholihlah, sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan (Q.S al-Mukminun:51) Dan Allah Ta’ala berfirman: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ Wahai orang-orang yang beriman, makanlah makanan yang baik dari rezeki yang Kami berikan kepada kalian (Q.S Al Baqoroh:172). Kemudian Nabi menceritakan keadaan seseorang yang melakukan safar panjang, rambutnya kusut, mukanya berdoa, menengadahkan tangan ke langit dan berkata: Wahai Rabbku, wahai Rabbku. Sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, diberi asupan gizi dari yang haram, maka bagaimana bisa diterima doanya?! (H.R Muslim) PENJELASAN HADITS Allah Maha Baik dan Tidak Menerima Kecuali yang Baik Nabi dalam hadits ini menyatakan : “Sesungguhnya Allah baik, dan tidak menerima kecuali yang baik”. Hadits ini juga menunjukkan bahwa salah satu Nama Allah adalah Thoyyib (Yang Maha Baik). Allah Maha Baik dalam segala hal : dalam Dzat-Nya, Sifat-Sifat, maupun perbuatanNya. Allah tersucikan dari segala macam bentuk aib, cela, dan kekurangan. Tidak serupa dengan makhluk. Tidak ada sesuatupun yang menyamainya. Perbuatan Allah seluruhnya baik. Apa yang Allah takdirkan pasti baik dan mengandung hikmah, sesuai keadilan dan kelebihan kebaikan (fadhilah) yang Allah berikan. Allah Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Karena itu, ibadah yang diterima Allah adalah hanya ibadah yang baik. Ibadah yang baik adalah ibadah yang terpenuhi 2 syarat yaitu ikhlas karena Allah dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam. وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ Dan tidaklah mereka diperintah kecuali untuk beribadah hanya kepada Allah dengan mengikhlaskan amal (Q.S alBayyinah : 5) مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ Barangsiapa yang melakukan suatu amalan tidak ada perintah dari kami (Nabi) maka tertolak (H.R Muslim) Jika amalan itu terkait dengan harta, seperti haji atau shodaqoh, maka harus berasal dari harta yang halal. لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلَا صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ Tidaklah sholat diterima tanpa bersuci, dan shodaqoh tidak diterima jika dari (hasil ketidakjujuran)(H.R Muslim) مَنْ تَصَدَّقَ بِعَدْلِ تَمْرَةٍ مِنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ وَلَا يَقْبَلُ اللَّهُ إِلَّا الطَّيِّبَ وَإِنَّ اللَّهَ يَتَقَبَّلُهَا بِيَمِينِهِ ثُمَّ يُرَبِّيهَا لِصَاحِبِهِ كَمَا يُرَبِّي أَحَدُكُمْ فَلُوَّهُ حَتَّى تَكُونَ مِثْلَ الْجَبَلِ Barangsiapa yang bershodaqoh sebesar kurma dari usaha yang baik, dan Allah tidak menerima kecuali yang baik, Allah akan menerima shodaqoh itu dengan Tangan KananNya kemudian Allah akan memelihara untuk orang yang bershodaqoh itu sebagaimana salah seorang dari kalian memelihara anak unta, sampai tumbuh menjadi sebesar gunung (H.R alBukhari dan Muslim) Allah tidak cinta, ridha, dan memberi pahala kepada amalan yang tidak baik. Kadangkala suatu amalan sudah terpenuhi syarat dan rukunnya, tapi ia tercemari dengan perbuatan lain, akibatnya amalan tadi menjadi tidak berbuah pahala, meski telah gugur kewajibannya. Contoh: seorang yang mendatangi tukang ramal/ dukun (yang mengaku mengetahui perkara yang ghaib) sholatnya tidak diterima selama 40 malam, meski ia telah gugur kewajiban (sholat). مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً Barangsiapa yang mendatangi Arraaf (orang yang mengaku mengetahui hal ghaib: kasus kehilangan, dsb) kemudian dia bertanya tentang sesuatu, tidak diterima sholatnya selama 40 malam (H.R Muslim) Seseorang yang minum khamr, sholatnya tidak berpahala selama 40 hari : لَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ رَجُلٌ مِنْ أُمَّتِي فَيَقْبَلُ اللَّهُ مِنْهُ صَلَاةً أَرْبَعِينَ يَوْمًا Tidaklah seseorang dari umatku minum khamr, kemudian Allah terima sholatnya 40 hari (H.R anNasaai, dishahihkan oleh Syaikh al-Albany) PERINTAH ALLAH KEPADA RASUL SAMA DENGAN PERINTAHNYA KEPADA ORANG BERIMAN LAINNYA Dalam hadits ini Nabi menyatakan : Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kaum mukminin sebagaimana perintah kepada para Rasul. Ini menunjukkan bahwa secara asal, perintah untuk Rasul berlaku juga untuk para umatnya, kecuali ada dalil lain yang mengkhususkan. PERINTAH UNTUK MEMAKAN MAKANAN YANG HALAL DAN BERAMAL SHOLEH Dalam ayat lain Allah perintahkan untuk memakan makanan yang baik dan halal serta bersyukur kepadaNya: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ Wahai orang-orang yang beriman, makanlah yang baik-baik dari apa yang Kami rizkikan kepada kalian dan bersyukurlah kepada Allah jika kalian hanya kepadaNya beribadah (Q.S al-Baqoroh:172) Dalam hadits ini Allah perintahkan untuk beramal sholeh. Amal sholeh adalah segala bentuk perbuatan baik yang dilakukan secara ikhlas dan sesuai tuntunan Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam. Amal sholeh adalah yang menjadi bekal yang menemani seseorang di alam kubur: يَتْبَعُ الْمَيِّتَ ثَلَاثَةٌ فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَيَبْقَى مَعَهُ وَاحِدٌ يَتْبَعُهُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ فَيَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَيَبْقَى عَمَلُهُ Ada 3 hal yang mengikuti jenazah seseorang. Dua kembali, dan satu tetap tinggal. Yang mengikutinya adalah keluarga, harta, dan amal sholehnya. Keluarga dan hartanya kembali, yang tetap tinggal adalah amalannya (H.R alBukhari) Seseorang yang menjelang ajal, akan berangan-angan seandainya ia bisa kembali punya kesempatan memperbanyak amal sholeh : حَتَّى إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ (99) لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ… (100) Sampai ketika telah datang kepada mereka kematian, mereka berkata: Wahai Tuhanku, kembalikan aku agar aku bisa beramal sholeh dengan amalan yang sebelumnya aku tinggalkan…(Q.S al-Mu’minuun : 99-100) Orang-orang penduduk neraka juga meminta untuk dikeluarkan dari neraka, dikembalikan ke dunia dan melakukan amal shaleh : وَهُمْ يَصْطَرِخُونَ فِيهَا رَبَّنَا أَخْرِجْنَا نَعْمَلْ صَالِحًا غَيْرَ الَّذِي كُنَّا نَعْمَلُ … Dan mereka berteriak di dalam neraka itu: Wahai Tuhan kami, keluarkanlah kami niscaya kami akan mengerjakan amalan sholeh berlainan dengan yang telah kami kerjakan… (Q.S Fathir : 37) Hal-hal yang Memudahkan Doa Terkabul Serta Penghalangnya Dalam hadits ini Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam mengisahkan contoh seseorang yang telah melakukan hal-hal yang memudahkan doanya terkabulkan, namun makanan, minuman, dan pakaiannya dari yang haram sehingga doanya sulit dikabulkan. Hal-hal yang memudahkan doa terkabul dalam ayat ini adalah : 1) Safar, 2) Rambut kusut dan berdebu (berpenampilan yang menunjukkan perendahan diri di hadapan Allah), 3) Menengadahkan tangan ke langit, 4) Mendahului doa dengan ucapan pengakuan Rububiyyah Allah: Ya Robb, Ya Robb (Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku), sebagaimana hal itu banyak disebutkan dalam doa-doa dalam AlQur’an (ucapan Robbanaa, Robii). Dalil-dalil lain yang menunjukkan bahwa hal-hal tersebut semakin memudahkan doa terkabul: Doa Musafir ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لَا شَكَّ فِيهِنَّ دَعْوَةُ الْوَالِدِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ Tiga doa yang mustajabah tidak diragukan lagi : Doa orangtua, doa musafir, dan doa orang terdzhalimi (H.R Abu Dawud dan atTirmidzi) Rambut yang kusut رُبَّ أَشْعَثَ مَدْفُوعٍ بِالْأَبْوَابِ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لَأَبَرَّهُ Bisa saja orang yang rambutnya kusut terhalau dari pintu-pintu, kalau ia bersumpah atas nama Allah, niscaya Allah tunaikan (H.R Muslim) Menengadahkan tangan ke langit (menghadap ke arah Allah) إِنَّ رَبَّكُمْ تَبَارَكَ وَتَعَالَى حَيِيٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِي مِنْ عَبْدِهِ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ إِلَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا Sesungguhnya Tuhan kalian Tabaraka Wa Ta’ala Pemalu lagi Maha Mulya. Allah malu kepada hambanya jika mengangkat tangan ke arahNya (berdoa) kemudian Allah kembalikan kedua tangan itu dalam keadaan nihil (tidak dapat apa-apa)(H.R Abu Dawud, atTirmidzi, Ibnu Majah) Sedangkan penghalang terkabulnya doa adalah makanan dan pakaian yang haram. jika seseorang ingin doanya dikabulkan, maka hendaknya memastikan makanan, minuman, dan pakaiannya adalah baik dan halal serta berasal dari harta yang halal. Rujukan: Jaami’ul Uluum wal Hikaam karya Ibnu Rojab Fathul Qowiyyil Matiin karya Syaikh Abdul Muhsin alAbbad atTuhfatur Robbaniyyah karya Syaikh Ismail bin Muhammad al-Anshary Syarh al-Arbain anNawawiyyah karya Syaikh Muhammad bin Sholeh alUtsaimin Syarh al-Arbain anNawawiyyah karya Syaikh Athiyyah bin Muhammad Salim Syarh al-Arbain anNawawiyyah karya Syaikh Sholeh Aalu Syaikh Syarh al-Arbain anNawawiyyah karya Sulaiman bin Muhammad al-Luhaimid

Tinggalkanlah Keraguan

Ditulis Oleh Ustadz Abu Utsman Kharisman (Syarh Hadits ke-11 Arbain AnNawawiyyah)


 عَنْ أَبِي مُحَمَّدٍ الْحَسَنِ بْنِ عَلِي بْنِ أبِي طَالِبٍ سِبْطِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَيْحَانَتِهِ رَضِيَ الله عَنْهُمَا قَالَ: حَفِظْتُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ. [رواه الترمذي وقال: حديث حسن صحيح] Dari Abu Muhammad, Al Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib, cucu Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan kesayangan beliau radhiallahu ‘anhuma telah berkata: “Aku telah menghafal (sabda) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam: “Tinggalkanlah apa-apa yang meragukan kamu, bergantilah kepada apa yang tidak meragukan kamu“. (HR. Tirmidzi dan dia berkata: Ini adalah Hadits Hasan Shahih) PENJELASAN Perawi Hadits Hadits ini diriwayatkan oleh al-Hasan putra Ali bin Abi Tholib radhiyallaahu ‘anhuma, cucu Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam. Beliau dinyatakan oleh Nabi : ابْنِي هَذَا سَيِّدٌ وَلَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ Putraku (cucuku) ini adalah pemuka (sayyid), dan semoga Allah akan mendamaikan dengan sebabnya 2 kelompok kaum muslimin (H.R al-Bukhari) Terbukti, sikap beliau yang mau mengalah dan menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah menyebabkan 2 pasukan besar: dari Iraq dan pasukan dari Syam berdamai dan tidak terjadi pertumpahan darah. Ketika Nabi meninggal, al-Hasan bin Ali masih berumur 7 tahun. Meninggalkan hal-hal yang masih samar kehalalannya Hadits ini merupakan dalil yang memberikan panduan bagi muslim untuk meninggalkan hal-hal yang masih samar (syubhat) dan meragukan. Sebagai contoh, jika ada suatu makanan atau harta yang kita ragu kehalalannya, maka tinggalkanlah, hingga kita yakin akan halalnya. Semakna dengan hadits: فَمَنِ اتَّقَى الْمُشَبَّهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ Barangsiapa yang menjaga diri dari syubuhat, maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya (H.R alBukhari) Keyakinan dalam Berbuat dan Kelapangan Jiwa Seorang muslim membangun keyakinan dalam hatinya ketika berbuat. Karena itu, ia kokohkan ilmunya sebelum berbuat, sebab ilmu adalah landasan amal. Jika ada yang tidak ia pahami, ia tanyakan kepada orang yang berilmu sehingga ia mantap untuk beramal di atas keyakinan. Semakin bertambah keilmuan seseorang, semakin berkurang jumlah hal-hal yang meragukannya dalam syariat. Ia juga tidak mau larut pada kasak-kusuk maupun isu yang tidak jelas jika ada saudaranya yang dicurigai. Ia akan melakukan tabayyun secara beradab hingga ia mendapat kepastian dan keyakinan dalam berbuat. Segala bentuk keraguan ia tinggalkan. Ia akan berusaha bersikap jujur dan menjauhi kedustaan, karena kejujuran akan mewariskan ketenangan, sedangkan kedustaan menghasilkan kebimbangan dan ketidaktenangan. فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ Sesungguhnya kejujuran adalah ketenangan dan dusta adalah keraguan (H.R atTirmidzi, lanjutan potongan hadits al-Hasan di atas). Jika ia ragu pada sebuah pilihan, ia akan bermusyawarah dengan orang yang ahli dan sholih kemudian beristikharah kepada Allah. Penyebab kegalauan hati dan kebimbangan yang utama adalah kesyirikan. Seorang yang syirik, akan terombang-ambing dalam ketakutan dan ketenangan yang semu. Ketakutannya akan semakin menjadi-jadi ketika ia semakin bergantung kepada selain Allah. Sebagai contoh, seorang yang minta tolong kepada Jin, maka ikatannya akan semakin kuat dan bertambah kuat. Semakin bergantung kepada pertolongan jin itu, semakin bertambah dosa dan ketakutannya وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الْإِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا Dan bahwasanya ada beberapa manusia laki-laki meminta perlindungan kepada laki-laki Jin sehingga menambah kepada mereka ketakutan (Q.S al-Jin: 6) Demikian juga orang yang menggunakan jimat, semakin bergantung pada jimat tersebut, semakin tidak tenang jiwanya مَنْ تَعَلَّقَ تَمِيمَةً فَلَا أَتَمَّ اللَّهُ لَهُ وَمَنْ تَعَلَّقَ وَدَعَةً فَلَا وَدَعَ اللَّهُ لَه Barangsiapa yang menggantungkan jimat, semoga Allah tidak menyempurnakan keinginannya, barangsiapa yang menggantungkan wada’ah (sejenis jimat), semoga Allah tidak memberikan ketenangan padanya (H.R Ahmad, dishahihkan al-Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahaby, al-Haitsamy menyatakan bahwa perawi-perawinya adalah terpercaya, al-Munawi menyatakan bahwa sanadnya shahih) Orang yang tidak beriman penuh dengan keragu-raguan dalam jiwanya إِنَّمَا يَسْتَأْذِنُكَ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَارْتَابَتْ قُلُوبُهُمْ فَهُمْ فِي رَيْبِهِمْ يَتَرَدَّدُونَ Sesungguhnya yang akan meminta idzin kepadamu hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keragu-raguannya (Q.S atTaubah:45) Kaidah Fiqh: Keyakinan Tidak Bisa Dihilangkan dengan Keraguan Salah satu kaidah fiqh yang dibangun dari dalil-dalil al-Quran dan hadits adalah : al-yaqiinu laa yuzaalu bisy-syak (keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan). Hadits ini adalah salah satu dari sekian banyak dalil yang mendasari kaidah tersebut, untuk meninggalkan keraguan menuju hal yang meyakinkan. Sebagai contoh, jika seseorang ragu apakah ia sudah berwudhu’ lagi atau belum setelah sebelumnya batal, maka yang dijadikan patokan adalah kepastian bahwa ia sudah batal. Yang meragukan adalah berwudhu’ lagi. Keraguan tersebut tidak diperhitungkan. Maka ia harus berwudhu’ lagi. Sebaliknya, dalam kasus yang lain: jika ia ragu apakah sudah batal wudhu’ atau belum, maka yang diambil adalah keyakinan bahwa ia masih suci. Batalnya wudhu’ berdasarkan keraguan. Maka persangkaan batal wudhu’ itu hendaknya ditinggalkan, karena berdasar keraguan. Ia tidak wajib berwudhu’ lagi kecuali jika ia ingin berwudhu’ untuk mendapatkan keutamaan, karena tidaklah seorang berwudhu’, kecuali akan berjatuhan dosa-dosanya ketika air wudhu’ berjatuhan dari jari jemarinya. Berbeda halnya jika ia yakin bahwa wudhu’nya sudah batal, maka ia wajib berwudhu’ jika akan sholat. Referensi : Taisiir Kariimir Rahman fii Tafsiiri Kalaamil Mannaan (Tafsir as-Sa’di) Fathul Qowiyyil Matiin karya Syaikh Abdul Muhsin alAbbad atTuhfatur Robbaniyyah karya Syaikh Ismail bin Muhammad al-Anshary Syarh al-Arbain anNawawiyyah karya Syaikh Muhammad bin Sholeh alUtsaimin Syarh al-Arbain anNawawiyyah karya Syaikh Athiyyah bin Muhammad Salim Syarh al-Arbain anNawawiyyah karya Syaikh Sholeh Aalu Syaikh Syarh al-Arbain anNawawiyyah karya Sulaiman bin Muhammad al-Luhaimid

Saat Harus Diam

                       
                                         Ustadz: Marwan
Ada saatnya seorang harus diam, sebagai bentuk aplikasi terhadap sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam seperti termaktub di dalam shahih al-Bukhori dan shahih Muslim dari hadits Abu Hurairah –radhiallahu’anhu- ia menuturkan : Bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda : من كان يؤمن بالله و اليوم الأخر فليقل خيرا أو ليصمت Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka bertuturlah yang baik atau hendaknya diam Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam juga menuturkan sebagaimana dalam hadits hasan riwayat Ahmad dalam musnad 3/158, 177 : من صمت نجا Barangsiapa yang diam ia selamat Sedikit bicara adalah termasuk adab mulia saat tindakan banyak berbicara menjerumuskan kepada suatu yang tidak memberikan kemanfaatan. Diam, itulah bahkan pilihan yang terbaik. Apakah tidak boleh bicara ?. bukan mutlak demikian itu juga yang dimaksudkan. Ada saatnya untuk berbicara, bahkan harus berbicara. Kapan? Rasulullah telah membimbing kita dalam sabdanya : Maka bertuturlah yang baik. Ini adalah perintah Rasul yang tidaklah keluar dari lisannya kecuali Al-haq. Kontek perintah dalam sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam memberikan pengertian wajib, ketika tidak terdapat perkara yang memalingkan kepada perkara bukan keharusan. Saat berdakwah, saat memberikan nasehat, adalah saat-saat seseorang harus berbicara, lebih umum dari pada itu bertutur-kata yang baik dan ketika tutur-kata tersebut jelas kemaslahatannya. Sebagaimana perintah Allah Ta’aala di dalam firmanNya : وَقُل لِّعِبَادِي يَقُولُوا الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنزَغُ بَيْنَهُمْ ۚ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلْإِنسَانِ عَدُوًّا مُّبِينًا Dan Katakanlah kepada hamha-hamba-Ku: “Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia. ( Al-Israa’ 53 ) Demikian juga di dalam firman Allah Ta’aala : وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّىٰ يَبْلُغَ أَشُدَّهُ ۚ وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ ۖ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولًا وَأَوْفُوا الْكَيْلَ إِذَا كِلْتُمْ وَزِنُوا بِالْقِسْطَاسِ الْمُسْتَقِيمِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah Telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar. (Fushshilat : 34-35) Kembali kepada judul bab : Saatnya Diam. Memang terkadang saatnya diam lebih utama, saatnya diam lebih layak, saatnya diam lebih memberikan kemashlahatan. Kapan? al-Qur’an telah menggambarkan hal tersebut berkaitan dengan kisah Maryam –‘alaihas salam- ketika mengandung nabi Isa. Allah Ta’aala memerintahkan kepada Maryam, sebagaimana FirmanNya : فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْنًا ۖ فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَٰنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنسِيًّا Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. jika kamu melihat seorang manusia, Maka Katakanlah: “Sesungguhnya Aku Telah bernazar berpuasa untuk Tuhan yang Maha pemurah, Maka Aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini”. (Maryam : 26) Kenapa Allah memerintahkan saat tersebut kepada Maryam untuk tidak berbicara kepada seorangpun? Karena keadaan manusia ketika itu akan mengingkari Maryam berkaitan dengan kehamilan, melahirkan dan datangnya bayi nabi Isa –‘alaihis sallam-. Sebesar apapun alasan yang dikemukakan oleh Maryam maka di saat tersebut manusia tidak akan menerima alasannya. Sehingga mengharuskan untuk diam karena tidak ada kemanfaatan di saat itu untuk mengemukakan udzur atau alasan sekalipun. Dan Allah Ta’aala menetapkan dan memiliki hikmah yang lain atas perintah tersebut. Di antaranya adalah suatu mu’jizat yaitu Nabi Isa –‘alaihis sallam- diberikan kemampuan Allah Ta’aala untuk berbicara di saat masih bayi. Demikian pula terdapat kisah yang dialami oleh ibunda kaum mukminin Ummu ‘Abdillah ‘Aisyah –radhiallahu’nha- sebagaimana disebutkan dalam hadits al-Bukhori pada nomor 4750 Rasululloh shallallahu’alaihi wa sallam mengatakan kepada ‘Aisyah : Amma ba’du, wahai Aisyah , sesungguhnya telah sampai kepadaku berita demikian dan demikian, sungguh jika engkau terlepas dari hal itu karena tidak melakukannya, semoga Allah ‘Azza wa jalla menjauhkanmu. Adapun jika kamu melakukan dosa tersebut, mnta ampunlah kepada Allah dan bertubatlah kepadaNya, karena seorang yang mengakui dosanya kemudian bertaubat maka Allah akan menerima taubatnya. Aisyah berkata : Ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam selesai berkata, air mataku semakin deras mengalir hingga tidak terasa lagi tetesan air mata tersebut. Maka saya berkata kepada ayahku : “ Jawablah apa yang dikatakan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mengenai diriku. Ayahkupun berkata : “Saya tidak tahu, demi Allah saya tidak akan berbicara kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Lalu saya berkata kepada ibuku : “ Jawablah kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mengenai diriku “. Ibuku berkata ; “Demi Allah, saya tidak tahu apa yang harus saya katakan kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. ‘Aisyah berkata : “Saya adalah seorang gadis kecil usianya, saya tidak banyak membaca Al-Qur’an. Demi Allah, sungguh aku mengetahui engkau telah mendengar hal ini hingga kamu merasa mantap dan percaya terhadap hal tersebut. Bilapun aku katakan kepada kalian bahwa aku jauh dari perbuatan tersebut dan Allah ‘Azza wa jalla Maha Mengetahui bahwa aku jauh dari perbuatan tersebut, kalian juga tidak akan percaya terhadap hal itu. Jika saya mengaku kepada kalian dengan suatu perkara sedang Allah ‘Azza Wa jalla Maha Mengetahui bahwa aku jauh dari perbuatan tersebut, sungguh kalian akan mempercayaiku. Demi Allah, sungguh tidak ada perkataan antara diriku dengan kalian kecuali sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Yusuf sebagaimana dalam Firman Allah : فَصَبْرٌ جَمِيلٌ ۖ وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ عَلَىٰ مَا تَصِفُونَ Maka kesabaran yang baik Itulah kesabaranku dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan.” (Yusuf : 18). Dalam hadits di atas, keadaan tersebut menjadikan Aisyah menahan diri untuk berbicara, kecuali ucapan yang mengandung faedah. Demikian juga di saat suatu perkataan itu adalah tanpa ilmu, maka keadaan tersebut menahan seseorang untuk berbicara. Diam di saat tersebut lebih baik, atau saatnya untuk diam. Allah Ta’aala berfirman : وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (al-Israa’ : 36 ) Dan firman Allah Ta’aala : إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُم مَّا لَيْسَ لَكُم بِهِ عِلْمٌ وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِندَ اللَّهِ عَظِيمٌ Dan ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. padahal dia pada sisi Allah adalah besar. (An-Nuur : 15) Dan Firman Allah Ta’aala : يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا ۖ قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِندَ رَبِّي ۖ لَا يُجَلِّيهَا لِوَقْتِهَا إِلَّا هُوَ ۚ ثَقُلَتْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ لَا تَأْتِيكُمْ إِلَّا بَغْتَةً ۗ يَسْأَلُونَكَ كَأَنَّكَ حَفِيٌّ عَنْهَا ۖ قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِندَ اللَّهِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: “Bilakah terjadinya?” Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. kiamat itu amat berat (huru haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba”. mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang hari kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak Mengetahui”. (Al-A’raaf : 187). Saatnya untuk diam. Selain dari pada itu masih banyak keadaan-keadaan yang menuntut untuk kita menahan lisan, secara umum adalah di saat kita dituntut untuk berbicara dan jelas kemashlahatannya maka di saat tersebut, saatnya berbicara. Akan tetapi ketika kita tidak bisa berbicara yang baik, maka ‘saatnya untuk diam’. Wallahu Ta’aala A’lam bish-shawab.

Jalan Menuju Al Jannah

Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, كُلُّ أُمَّتِيْ يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ إِلاَّ مَنْ أبَى قَالُوا : يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَنْ يَأْبَى؟ قَالَ : مَنْ أطَاعَنِيْ دَخَلَ الْجَنَّةَ، وَمَنْ عَصَانِيْ فَقَدْ أَبَى “Seluruh umatku akan masuk al-Jannah (Surga) kecuali orang yang enggan. Para shahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, siapakah orang yang enggan?’ Rasulullah menjawab, ‘Barang siapa yang menaatiku, dia akan masuk al-Jannah, dan barang siapa yang bermaksiat (tidak taat) kepadaku, maka dialah orang yang enggan (yakni enggan masuk al-Jannah, pen.).” (HR. al-Bukhari) Pembaca yang semoga dirahmati Allah subhanahu wa ta’ala, sungguh indah ucapan al-Imam Muhammad at-Tamimi rahimahullah, “Sesungguhnya Allah telah menciptakan dan memberikan rezeki kepada kita, dan (kemudian) Dia tidak membiarkan kita begitu saja. Namun Allah telah mengutus kepada kita seorang rasul (Muhammad). Barang siapa yang menaatinya, dia akan masuk al-Jannah, dan barang siapa yang bermaksiat kepadanya, dia akan masuk an-Nar (neraka).” Walaupun ringkas, kalimat yang beliau tuangkan dalam kitabnya Tsalatsatul Ushul tersebut mengandung makna yang sangat luas dan mendalam. Allah menciptakan manusia dan jin di dunia ini tidaklah sia-sia. Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan membiarkan mereka hidup tanpa aturan dan syari’at yang menuntun mereka. Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan mereka agar beribadah kepada-Nya. Sebagai Dzat Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Dia juga memberikan rezeki dan berbagai kenikmatan kepada mereka untuk memudahkan dalam merealisasikan ibadah tersebut. Namun untuk mewujudkan ibadah sebagaimana yang dikehendaki Allah, kita tidak bisa menunaikannya dengan baik dan benar jika tidak ada yang menuntun dan membimbing kita sesuai dengan yang dikehendaki oleh-Nya. Oleh karena itu, dengan hikmah dan kasih sayang-Nya pula, Allah mengutus Nabi-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai rasul terakhir dan penutup para nabi untuk menjelaskan tata cara ibadah yang dikehendaki oleh-Nya. Sehingga seluruh amal ibadah yang tidak sesuai dengan ajaran beliau maka ibadah itu akan sia-sia. Inilah sesungguhnya hakekat ketaatan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yaitu setiap ibadah kepada Allah harus dilakukan sesuai dengan ajaran dan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.Maka seseorang yang benar-benar merealisasikan ketaatan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam inilah yang akan mendapatkan jaminan al-Jannah. Sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas. Ketika seseorang telah mengikrarkan dua kalimat syahadat, tidaklah cukup hanya sebatas di lisan saja. Namun harus pula diwujudkan dalam bentuk amalan nyata. Yaitu dia harus mengikhlaskan segala bentuk ibadahnya hanya untuk Allah semata serta ibadah yang dia laksanakan harus ada contoh dan petunjuk dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan ketaatan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammerupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Seorang yang menginginkan untuk senantiasa taat kepada Allah, maka di antara wujud ketaatan kepada-Nya adalah taat kepada Rasulullah. Sedangkan ketaatan kepada Rasulullah merupakan bukti akan ketaatan dia kepada Allah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya), “Barang siapa yang menaati Rasul itu (Nabi Muhammad), sesungguhnya ia telah menaati Allah.” (An-Nisa’: 80) Sehingga barang siapa yang bermaksiat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta tidak mau mendengar dan taat kepada beliau, maka berarti dia juga telah bermaksiat kepada Allah dan tidak mau taat serta tunduk kepada Penciptanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللهَ “Barang siapa menaatiku, sungguh dia telah menaati Allah, dan barang siapa bermaksiat (tidak taat) kepadaku, sungguh dia telah bermaksiat kepada Allah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) Bagaimana bisa seorang yang tidak taat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dikatakan sebagai orang yang tidak taat kepada Allah? Ya, karena tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda atau menetapkan suatu syariat, melainkan hal itu merupakan wahyu dari Allah subhanahu wa ta’ala. Allah lberfirman (artinya), “Dan tidaklah dia berucap menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 3-4) Maka dari itu, banyak sekali ayat tentang perintah untuk menaati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamyang disebutkan beriringan dengan perintah untuk menaati Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya), “Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya jika kalian adalah orang-orang yang beriman.” (Al-Anfal: 1) Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menegaskan kepada kaum mukminin jika mereka memang benar-benar telah mengikrarkan keimanan, maka mereka harus siap untuk tunduk dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena keimanan (yang jujur) itu akan mendorong seseorang untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana orang yang tidak menaati Allah dan Rasul-Nya bukanlah orang yang beriman (dengan keimanan yang benar). Barang siapa yang kurang ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hal ini menunjukkan kurangnya kadar keimanannya. (Lihat Taisir al-Karimir Rahman) Dari sini jelaslah bahwa di antara syarat sempurnanya keimanan seseorang adalah dengan mewujudkan ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Buah Ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam Orang yang senantiasa istiqamah di atas ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya akan meraih sekian banyak kebaikan. Satu kebaikan saling berkaitan dengan kebaikan yang lainnya. Di antara kebaikan-kebaikan tersebut adalah: 1. Mendapatkan limpahan kasih sayang Allah subhanahu wa ta’ala Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya), “Dan taatilah Allah dan Rasul, pasti kalian diberi rahmat.” (Ali ‘Imran: 132) Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya merupakan salah satu sebab diraihnya rahmat (kasih sayang) Allah.” Rahmat Allah subhanahu wa ta’ala merupakan kunci utama bagi seseorang untuk merasakan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. 2. Mendapatkan hidayah Allah subhanahu wa ta’ala akan memberikan hidayah kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya. Tentu, orang yang dirahmati oleh-Nya sajalah yang akan mendapatkan anugerah besar ini. Mereka itulah yang senantiasa menjaga ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dalam ayat-Nya (artinya), “Dan jika kalian taat kepadanya (Nabi Muhammad), niscaya kalian mendapat hidayah (petunjuk).” (An-Nur: 54) Yaitu hidayah (petunjuk) menuju ash-Shirath al-Mustaqim (jalan yang lurus), baik (petunjuk untuk) berkata maupun beramal. Tidak ada jalan bagi kalian untuk mendapatkan hidayah kecuali dengan menaati beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam. Tanpa ketaatan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak mungkin bahkan mustahil untuk mendapatkan hidayah. (Lihat Taisir al-Karimir Rahman). 3. Meraih kemenangan besar Sebagaimana di dalam firman-Nya (artinya), “Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (Al-Ahzab: 71) Kemenangan yang besar ialah dengan dimasukkan ke dalam al-Jannah yang luasnya seluas langit dan bumi. Allah subhanahu wa ta’ala sediakan al-Jannah bagi orang-orang yang menaati-Nya dan menaati Rasul-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya), “Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Dia akan memasukkannya ke dalam al-Jannah yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya, dan itulah kemenangan yang besar.” (An-Nisa’: 13) 4. Dikumpulkan bersama para nabi, para shiddiqin, syuhada’, dan shalihin Al-Jannah itu bertingkat-tingkat. Penduduknya akan menempati tingkatan al-Jannah sesuai dengan kadar keimanan dan ketakwaannya. Semakin tinggi dan sempurna keimanan serta ketakwaan seorang hamba, semakin tinggi pula tingkatan al-Jannah yang akan dia tempati. Sudah pasti bahwa tingkatan al-Jannah yang paling tinggi ditempati oleh hamba-hamba-Nya yang paling mulia. Mereka itulah para Nabi, para shiddiqin (orang-orang yang sempurna pembenaran dan keimanan mereka terhadap syariat yang dibawa oleh Nabi n), para syuhada’, dan orang-orang shalih. Bersama merekalah orang-orang yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya akan dikumpulkan di al-Jannah nanti. Hal ini sebagaimana firman-Nya (artinya), “Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul (Nabi Muhammad), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para shiddiqin, para syuhada’, dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (An-Nisa’: 69) Para pembaca rahimakumullah. Ayat ini juga mengingatkan kita akan do’a yang senantiasa kita panjatkan ketika membaca surah al-Fatihah (artinya), “Tunjukilah kami ash-shirath al-mustaqim (jalan yang lurus). (Yaitu) jalan orang-orang yang telah engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (Al-Fatihah: 6-7) Jalan yang lurus (ash-shirath al-mustaqim) adalah jalannya orang-orang yang telah dianugerahi nikmat oleh Allah. Siapakah mereka itu? Pembaca bisa lihat dalam surah an-Nisa’ di atas, yaitu jalannya para nabi, para shiddiqin, para syuhada’, dan orang-orang shalih. Siang dan malam senantiasa kita panjatkan doa tersebut dalam shalat kita. Sehingga agar doa kita tersebut dikabulkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, maka hendaknya kita berusaha semaksimal mungkin untuk selalu menaati Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam seluruh sisi kehidupan kita, baik dalam hal aqidah, ibadah, mu’amalah, maupun akhlak. Semoga Allah menjauhkan kita dari golongan yang dinyatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dan barang siapa yang bermaksiat (tidak taat) kepadaku, maka dialah orang yang enggan (yakni enggan masuk al-Jannah, pen.).” Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya), “Dan barang siapa bermaksiat (mendurhakai) Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Dia akan memasukkannya ke dalam an-Nar, sedang dia kekal di dalamnya, dan baginya siksa yang menghinakan.” (An-Nisa’: 14) Wallahu a’lamu bish shawab.. Penulis: Al-Ustadz Abu Abdillah Kediri hafizhahullah

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites